Selasa, 09 November 2010

(Bong Elian Reginald) Desain Grafik dan Animasi

emudahan yang ditawarkan oleh aplikasi Macromedia Flash (yang telah diakuisisi Adobe) membawa dampak dan perubahan pada bidang animasi dan multimedia. Jika sebelumnya animasi (terutama animasi klasik 2D) sering diidentikkan dengan metode produksi yang rumit dan berbiaya tinggi serta membutuhkan keahliaan khusus (terutama dalam menganimasikannya) maka pasca aplikasi Flash menjadi sesuatu yang lebih mudah dan murah. Kemudahan yang ditawarkan aplikasi Flash (terutama terobosannya melalui action script, yang memungkinkan membuat animasi berdasarkan skrip –dengan mengetikkan perintah dan tidak dengan cara menggambar, serta kemampuan menggunakan template serta ‘mengedit’ dari skrip yang sudah ada) serta konektivitasnya dengan dunia maya menjadikan creator dan animator dengan segera membuat sebuah animasi serta ‘mempromosikan’ karyanya secara murah dengan jangkauan internasional via internet. Kemudahan-kemudahan ini juga kemudian bergeser pada hal yang lain lagi: pentingnya content yang membangun sebuah animasi. Beberapa karya animasi boleh jadi memiliki penampilan visual yang serupa, sehingga karya dengan content yang kuat akan segera tampil beda dibandingkan yang lainnya.Pentingnya content di sini juga perlu disikapi secara bijak dan hati-hati. Karena terkadang kekuatan sebuah content seolah-olah mampu mem”brand’kan sebuah studio sehingga menempatkannya dalam posisi yang serba salah. Misalkan jika kita menilik terhadap apa yang terjadi pada studio Disney. Keberhasilan yang diperoleh Disney dari beragam fitur animasi yang mereka hasilkan membuat orientasi perusahaan makin menjadi profit oriented. Hal ini menjadi menyulitkan saat animasi (terutama animasi klasik) yang tadinya menjadi fitur unggulan mereka mulai sulit menemukan pasar yang bagus. ‘Branding’ film-film Disney adalah film untuk anak-anak, sedangkan pasar mulai terbuka pada film animasi dengan tema yang lebih berat, kompleks dan realistik. Dan saat Disney juga mencoba merambah film animasi yang masuk kategori remaja dan dewasa, film yang dihasilkan menuai kritik karena tidak dianggap sebagai film produksi Disney yang telah lekat kuat imaji anak-anaknya. ‘Perang’ antara film-film produksi Disney dengan Studio Ghibli (yang direlasikan antara perwakilan modernisme dan postmodernisme), jika dilihat maka apa yang ditampilkan oleh Studio Ghibli sendiri banyak beranjak dari pendekatan yang sama dengan Disney. Hanya saja, Studio Ghibli masih mampu memasukkan idealisme serta prinsip arts as tools dalam karya-karya mereka. Bisa dibilang setiap film yang dihasilkan Studio Ghibli merupakan ekspresi visi dan totalitas dari tiap sutradaranya. Karena berangkat dengan pendekatan seperti ini, maka cakupan tema yang digarap lebih meluas. Sehingga lingkup target audience yang dapat mereka rangkul lebih banyak.
Mekipun dalam beberapa hal Disney seolah-olah merepresentasikan modernisme dengan segala ‘kekurangannya’ (sangat komersial, cerita standar –good vs evil), tetapi di sini ada peran dan kekuatan American Culture yang membuat kondisi yang dialami Disney seolah luput dari kritik. Karena ada ‘kejumawaan’ khas Amerika yang seakan-akan selalu memiliki dan menghasilkan produk-produk terbaik.
Kembali pada kehidupan Postmodernisme, maka jika prinsip postmodernisme itu coba untuk divisualkan akan berbentuk garis mendatar (pada sumbu X dan Z), berbeda dengan modernisme yang menjulang tinggi pada sumbu Y, atau siklus alam (nature) yang berputar dan kembali pada satu titik awal yang juga sekaligus akhir.
Model dari modernisme menyebabkan gerakan satu arah menuju ke atas, dengan satu langkah akan dibangun dari pondasi langkah sebelumnya. Sedangkan postmodernisme, meskipun juga berwujud garis mendatar, berada dalam posisi yang horizontal. Hal ini memungkinkan gerakan yang maju mundur, ke depan dan belakang, kiri dan kanan, secara bebas. Menggambarkan kondisi era postmodernisme yang seakan tanpa batasan (no boundaries, no limitation), dimana kita bisa seakan bergerak bebas sesuai kebutuhan. Misalkan dalam sebuah pencarian pengetahuan ada dasar yang harus kita kuasai terlebih dahulu, maka kita dapat berpindah ke belakang untuk mengisi bagian ‘berlubang’ tersebut, untuk kemudian setelah selesai dapat segera melompat ke depan kembali. Seakan ‘bepergian’ ke masa lalu, kini dan masa depan dapat dilakukan tanpa masalah.
Kondisi seperti ini tentunya sangat mempengaruhi profesi sebagai desainer, khususnya desainer profesional. Desainer profesional harus mampu berpikir jauh ke depan (think ahead of time), mampu merefleksikan keberadaan tempat dan waktu mereka melalui elemen-elemen visual. Dengan ‘kualifikasi’ seperti ini, maka seorang desainer harus memiliki pengetahuan dan kewaspadaan terhadap banyak hal, terutama kesadaran pada tempat dan waktu dia berpijak. Penting untuk bisa mengembangkan semacam daftar yang harus selalu diupdate (forever updated list) berdasarkan perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Karena ini menjadi landasan untuk bisa selalu tahu apa yang paling penting untuk bisa menyampaikan atau mengatakan suatu pesan. Perkembangan teknologi tinggi juga membuat ‘revolusi’ dalam desain itu sendiri, terutama dalam target sasaran dan aplikasinya. Desain saat ini makin menjadi sangat personal, dimana pengguna seakan bisa meminta desain yang spesifik (customized design) hanya untuk dirinya sendiri. Teknologi pada bidang percetakan misalnya telah mampu mengakomodir kebutuhan pencetakan pada beragam permukaan dan ukuran, dengan kualitas baik dan harga yang terjangkau, yang pada ujungnya membuat spesifik desain tadi menjadi mungkin. Terutama jika kebutuhan pada desain yang personal ini dipicu pada keinginan untuk bisa beda dari yang lain, to be stand out from others. Perkembangan lainnya adalah makin baurnya profesi-profesi yang ada, terutama yang berada dalam satu konteks yang sama, misalkan dalam bidang desain. Kerjasama antar disiplin ilmu seolah-olah membaurkan profesi antara desainer interior, produk atau komunikasi visual. Karena hal yang akhirnya menjadi penting adalah muatan dari produk desain itu sendiri. Bagaimana kita bisa menghasilkan desain yang baik berdasarkan kolaborasi-kolaborasi tadi menjadi satu titik balik yang bisa merubah kondisi/peta dunia, terutama dalam kaitan siapa yang menjadi pelopornya. Stigma yang ada adalah negara-negara maju dan kaya merupakan kreator, yang mampu menghasilkan produk-produk handal bagi kebutuhan masyarakat dunia, ‘menyisakan’ negara-negara miskin sebagai pengguna produk dan teknologi second hand yang sebelumnya telah habis dieksploitasi negara-negara kaya. Saat ini juga mulai terjadi pergeseran dari produk dan teknologi terbaru yang tadinya seolah menjadi ‘milik’ negara, menjadi milik perusahaan/company. Lalu bagaimana dengan kaitan pada desain multimedia dan animasi dengan perkembangan yang terjadi di era post-modernisme ini? Untuk bisa merambah dan mengeksplorasi dunia multimedia dan animasi, penting untuk kembali pada dasarnya terlebih dahulu. Seperti kembali pada pemahaman kita terhadap definisi, sejarah serta penggunaan multimedia. Bagaimana kita dapat menggunakan perpaduan antara beragam visual elemen seperti tipografi, fotografi, audio dan video ke dalam teknik dan cara penulisan (writing), menstrukturkan informasi dan cerita yang ingin kita sampaikan (structuring), bagaimana kita menyampaikan informasi tadi (publishing) serta mengolahnya dalam materi yang interaktif (interactive materials). Keberhasilan kita membuat sebuah desain multimedia dan animasi yang baik akan bergantung pada kualitas ide (quality of ideas) yang menjadi titik berangkat kita. Saat ini, originalitas bukan menjadi satu hal yang penting. Kadang bagaimana kita mampu mereka ulang ide (how to reuse ideas) menjadi faktor penentu pula. Dan yang penting adalah ide yang kita sampaikan haruslah unik, dan mampu membuat keterkejutan bagi siapapun pemirsa kita. Dalam animasi pun kita juga akan berangkat dari hal-hal yang mendasar: prinsip-prinsip animasi, struktur dan naratif: bagaimana kita mengontrol informasi yang akan kita sampaikan, membangun perkembangan produksi secara simultan dan berkelanjutan, proses storyboarding untuk menata dan mengorganisasikan content/isi, serta pada unsure interface dan pertimbangan lay out: bagaimana pemirsa akan mengakses informasi yang kita tampilkan.
Perkembangan era terakhir menempatkan kita pada era pasca desain postmodernisme: cyber design. Jika kita merunut dari era desain modern yang bercirikan adanya standarisasi (scientific rational), lekat dengan paham Bauhaus, desain dengan titik berat untuk fungsi (design for function), sangat komersil dengan desain untuk produksi massal –dan memunculkan golongan baru: konsumer yang dulunya merupakan golongan pekerja-, serta desain-desain yang berbentuk hardware, disusul desain post-modernisme yang seakan merupakan anti-modernisme dengan prinsip desain yang lebih emosional dan personal, terpengaruh gerakan dari “Memphis” Group di era 1980-an yang memungkinkan desain tanpa fungsi atau dekorasi (non sense making), maka bagaimana dengan era cyber design?
Cyber design kerap diidentikkan dengan dunia digital, informasi dan virtual reality yang banyak dibangun dengan elemen-elemen multimedia. Pertukaran informasi yang begitu cepat dan mudah di era ini tentunya mendorong kreasi-kreasi desain yang baru dan fresh, terlebih didorong pentingnya kolaborasi antar desainer itu sendiri.
Satu studi kasus menarik adalah dengan kemudahan akses informasi, seorang yang berada di Korea dan belum pernah menginjakkan kakinya sedikitpun di Bali, bisa saja melakukan riset melalui jaringan internet, lalu membangun situs informasi tentang Bali (tentunya dengan sudut pandangnya sendiri). Hal ini tentu saja dimungkinkan, karena siapapun bisa melakukan apa saja. Tentu saja, akan ada persepsi yang bias, karena apa yang ditampilkan orang Korea ini hanya berdasarkan persepsi dia terhadap Bali. Jika kemudian orang ini berkolaborasi dengan orang lain yang pernah pergi ke Bali (atau bahkan orang Balinya sendiri) maka kedua belah pihak akan sama-sama mendapatkan hal-hal dan sudut pandang yang baru dan saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini akan sangat memungkinkan untuk menghasilkan desain/informasi yang sama sekali baru tentang Bali. Sebuah desain akan memiliki lebih dari satu fungsi, terutama jika fungsi tadi sangat terkait dengan unsure kesenangan (fun). Hal yang menarik adalah konsep visible-invisible yang bisa jadi menjadi patokan desain di era cyber design ini. Bagaimana menghasilkan suatu desain (baik multimedia maupun animasi) yang bisa saja terlihat begitu sederhana dan kompak, tetapi ternyata memiliki beragam kemampuan yang sebelumnya tidak terlihat. Sesuatu yang terlihat (visible) dan ternyata memiliki banyak hal-hal tidak terlihat (invisible).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar